"Tau inti UU no 1 ayat 74 gak yang tentang perkawinan? Terapin UU itu di kehidupan kita berdua nanti yuk"
Basic Information
Nama Lengkap : Satria Adjie Ardhana
Nama Panggilan : Satria, Adjie, BangSat
Tempat Lahir : Jogjakarta, Indonesia
Tanggal Lahir : 13 Maret 1995
Nationality : Indonesia
Riwayat Pendidikan :
Sexual Orientation : Straight
Horoscope : Aries
Relationship Status : Jomblo akut
Agama : Kristen Protestan
Nama Panggilan : Satria, Adjie, BangSat
Tempat Lahir : Jogjakarta, Indonesia
Tanggal Lahir : 13 Maret 1995
Nationality : Indonesia
Riwayat Pendidikan :
- TK High Scope
- SDS Pangudi Luhur
- SMP 115 Jakarta
- SMA 8 Jakarta
- Fakultas Hukum Universitas Indonesia {current}
Sexual Orientation : Straight
Horoscope : Aries
Relationship Status : Jomblo akut
Agama : Kristen Protestan
Background Story
Kesempurnaan.
Kesempurnaan merupakan sebuah ruang kosong yang tak terukur besar dan jauhnya serta nilainya. Karena hal tersbut adalah sesuatu yang mustahil di dapatkan sendiri kecuali dari Sang Pencipta. Kesempurnaan dari pemikiran setiap orang tidak lah sama, sehingga tidak akan ada yang bisa menggapainya.
Namun rupanya, arti kesempurnaan itu sendiri tidak termaknai dengan baik oleh salah satu ciptaan-Nya. Pria berumur ini menganggap putra sulungnya memiliki kesempurnaan dalam dirinya.
Satria Adjie Ardhana; putra sulung keluarga Ardhana lahir dengan fisik serta kepintaran yang sangat baik. Hal tersebut yang menjadi harapan besar sang ayah, kelak putra sulungnya akan menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Tentu ia nanti akan menjadi kebanggaan keluarga, dimana saat ada acara, sang ayah bisa berkata "Anak yanh berbakat itu adalah anak saya" dengan senyum kebanggaan yang sebebarnya mencemooh orang lain yang gagal.
Di sisi lain, lahir sebagai putra sulung keluarga memberikan beban tersendiri bagi Satria. Di mana ia harus menjadi cerminan dari sang ayah, bahkan lebih dari apa yang telah ayahnya lakukan. Hal tersebut membuat Satria terus berada dalam lingkaran yang dibuat oleh sang ayah. Segala sesuatu harus sesuai dengan keinginan sang ayah. Sejak kecil, ia telah memenangkan berbagai macam kejuaraan. Segala kegiatan yang menyangkut minat dan bakat ia ikuti; meski terkadang ia tidak berbakat dan bahkan tidak berminat dalam hal tersebut. Namun, jika sang ayah berkata harus, maka ia harus melakukannya.
"Dia curang pa! Harusnya itu kan dianggap pelanggaran tapi jurinya gak liat!" rengek Satria yang kala itu berumur 11 tahun sedang mengikuti kejuaraan Taekwondo. Ia terisak karena gagal mendapatkan posisi pertama dan medali emas.
Bohong.
Yang Satria katakan kala itu adalah kebohongan. Tidak ada pelanggaran, tidak ada yang curang. Ia mengucap dusta agar ia tidak disalahkan oleh sang ayah. Setidaknya kekalahan yang ia alami, bukan karena ketidaksanggupannya. Ia takut ayahnya akan kecewa. Ia takut ia tidak bisa membanggakan ayahnya. Ia takut predikat anak kebanggaannya akan terkoyak begitu saja.
Semenjak itu, dirinya kerap melakukan berbagai pembelaan dan kebohongan untuk menutupi kegagalannya. Apa yang akan ayahnya lakukan jika menemukan 'kesempurnaan' dalam diri Satria kian menghilang seiring berjalannya waktu? Beruntung, ketika anak kedua keluarga Ardhana; Abel Saraswati sudah menginjak usia dewasa, sorotan kebanggaan keluarga terpecah menjadi dua. Sehingga Satria tidak lagi memengang beban yang terlalu berat. Nanun tetap saja, putra sulung keluarga Ardhana harus tetap sempurna adanya.
Namun, dinding kepercayaan yang mati-matian dibangun oleh Satria runtuh begitu saja ketika hari pengunguman masuk Universitas Negeri melalu jalur undangan.
'Maaf, anda dinyatakan tidak lulus SNMPTN' merupakan sebuah kalimat yang dapat membuat sikap sang ayah berubah 180°. Segala pujian yang selama ini Satria dapatkan, kini berubah menjadi cemooh kegagalan. Bagaimana seorang yang 'sempurna' tidak diterima FTTM ITB? Ternyata, banyak manusia yang jauh lebih membanggakan ketimbang Satria kebanggaan keluarga.
Kekecewaan sang ayah tak berakhir, seakan tidak belajar dari kegagalannya di masa lampau, Satria kembali menjadi alasan sang ayah naik pitam. "SIAPA YANG SURUH KAMU DAFTAR KE HUKUM?!" suara tegas tersebut memenuhi ruanh keluarga kala sore hari itu. Disaat semua orang memberikannya pujian atas pencapaiannya masuk Falultas Hukum UI, sang ayah tetap tidak memujinya.
Hingga saat ini, hubungan erat ayah-anak yang terajut sejak dahulu kala kian merenggang. Ayahnya sibuk dengan pekerjaannya di pertambangan dan membuatnya jarang pulang. Seakan sang ayah enggan bertemu putranya yang tidak membanggakan keluarga. Beruntung predikat tersebut masih ia peroleh dari Ibu serta adiknya, Saras yang terus mendorong Satria untuk tetap berjuang.
Seiring berjalannya waktu, mungkin Satria akan mulai menyadari bahwa kesempurnaan yang ia miliki hanyalah sebuah ruang kosong terukur yang selama ini dicipatakan oleh sang ayah.
Kesempurnaan merupakan sebuah ruang kosong yang tak terukur besar dan jauhnya serta nilainya. Karena hal tersbut adalah sesuatu yang mustahil di dapatkan sendiri kecuali dari Sang Pencipta. Kesempurnaan dari pemikiran setiap orang tidak lah sama, sehingga tidak akan ada yang bisa menggapainya.
Namun rupanya, arti kesempurnaan itu sendiri tidak termaknai dengan baik oleh salah satu ciptaan-Nya. Pria berumur ini menganggap putra sulungnya memiliki kesempurnaan dalam dirinya.
Satria Adjie Ardhana; putra sulung keluarga Ardhana lahir dengan fisik serta kepintaran yang sangat baik. Hal tersebut yang menjadi harapan besar sang ayah, kelak putra sulungnya akan menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Tentu ia nanti akan menjadi kebanggaan keluarga, dimana saat ada acara, sang ayah bisa berkata "Anak yanh berbakat itu adalah anak saya" dengan senyum kebanggaan yang sebebarnya mencemooh orang lain yang gagal.
Di sisi lain, lahir sebagai putra sulung keluarga memberikan beban tersendiri bagi Satria. Di mana ia harus menjadi cerminan dari sang ayah, bahkan lebih dari apa yang telah ayahnya lakukan. Hal tersebut membuat Satria terus berada dalam lingkaran yang dibuat oleh sang ayah. Segala sesuatu harus sesuai dengan keinginan sang ayah. Sejak kecil, ia telah memenangkan berbagai macam kejuaraan. Segala kegiatan yang menyangkut minat dan bakat ia ikuti; meski terkadang ia tidak berbakat dan bahkan tidak berminat dalam hal tersebut. Namun, jika sang ayah berkata harus, maka ia harus melakukannya.
"Dia curang pa! Harusnya itu kan dianggap pelanggaran tapi jurinya gak liat!" rengek Satria yang kala itu berumur 11 tahun sedang mengikuti kejuaraan Taekwondo. Ia terisak karena gagal mendapatkan posisi pertama dan medali emas.
Bohong.
Yang Satria katakan kala itu adalah kebohongan. Tidak ada pelanggaran, tidak ada yang curang. Ia mengucap dusta agar ia tidak disalahkan oleh sang ayah. Setidaknya kekalahan yang ia alami, bukan karena ketidaksanggupannya. Ia takut ayahnya akan kecewa. Ia takut ia tidak bisa membanggakan ayahnya. Ia takut predikat anak kebanggaannya akan terkoyak begitu saja.
Semenjak itu, dirinya kerap melakukan berbagai pembelaan dan kebohongan untuk menutupi kegagalannya. Apa yang akan ayahnya lakukan jika menemukan 'kesempurnaan' dalam diri Satria kian menghilang seiring berjalannya waktu? Beruntung, ketika anak kedua keluarga Ardhana; Abel Saraswati sudah menginjak usia dewasa, sorotan kebanggaan keluarga terpecah menjadi dua. Sehingga Satria tidak lagi memengang beban yang terlalu berat. Nanun tetap saja, putra sulung keluarga Ardhana harus tetap sempurna adanya.
Namun, dinding kepercayaan yang mati-matian dibangun oleh Satria runtuh begitu saja ketika hari pengunguman masuk Universitas Negeri melalu jalur undangan.
'Maaf, anda dinyatakan tidak lulus SNMPTN' merupakan sebuah kalimat yang dapat membuat sikap sang ayah berubah 180°. Segala pujian yang selama ini Satria dapatkan, kini berubah menjadi cemooh kegagalan. Bagaimana seorang yang 'sempurna' tidak diterima FTTM ITB? Ternyata, banyak manusia yang jauh lebih membanggakan ketimbang Satria kebanggaan keluarga.
Kekecewaan sang ayah tak berakhir, seakan tidak belajar dari kegagalannya di masa lampau, Satria kembali menjadi alasan sang ayah naik pitam. "SIAPA YANG SURUH KAMU DAFTAR KE HUKUM?!" suara tegas tersebut memenuhi ruanh keluarga kala sore hari itu. Disaat semua orang memberikannya pujian atas pencapaiannya masuk Falultas Hukum UI, sang ayah tetap tidak memujinya.
Hingga saat ini, hubungan erat ayah-anak yang terajut sejak dahulu kala kian merenggang. Ayahnya sibuk dengan pekerjaannya di pertambangan dan membuatnya jarang pulang. Seakan sang ayah enggan bertemu putranya yang tidak membanggakan keluarga. Beruntung predikat tersebut masih ia peroleh dari Ibu serta adiknya, Saras yang terus mendorong Satria untuk tetap berjuang.
Seiring berjalannya waktu, mungkin Satria akan mulai menyadari bahwa kesempurnaan yang ia miliki hanyalah sebuah ruang kosong terukur yang selama ini dicipatakan oleh sang ayah.